BUDAYA TAWURAN

Tawuran menjadi berita yang sering muncul. Tawuran antarmahasiswa atau tawuran antarkampung sering diekspose. Mahasiswa yang dikatakan makhluk intelek pun masih saja menggunakan jalan kekerasan ini sebagai solusi pertamanya. Sebuah pandangan dari Ilmu Sosiologi mengatakan bahwa tawuran kerap terjadi antarkelompok sosial dalam masyarakat. Biasanya pemicunya dari gesekan-gesekan antarindividu yang berkembang menjadi konflik kelompok. Karena adanya rasa saling memiliki dan rasa kesadaran sebagai bagian dari kelompoknya maka individu-individu yang tergabung dalam kelompok tersebut rela mengorbankan diri demi nama baik kelompoknya. Lihatlah bagaimana puluhan remaja rela berdarah-darah demi menjaga nama baik kampungnya. Atau beberapa mahasiswa rela terkena parang demi nama baik fakultasnya. Bukankah ini termasuk dalam teori ini.
Menurut para ahli, kebudayaan tawuran di kalangan masyarakat Indonesia dikarenakan oleh kondisi masyarakat seperti ini masih menganut sebuah solidaritas mekanik. Di mana rasa kesolidaritasan mereka sangat tinggi sekali dalam masalah kekeluargaan. Mereka akan menjaga satu sama lain serta saling memberi bila ada yang membutuhkan. Sayangnya solidaritas ini sangat rentan bila tereduksi dengan sebuah konflik. Karena tanpa klarifikasi yang jelas, seorang anggota kelompok tadi bisa mengangkat senjata demi nama baik kelompok. Mereka tidak akan mengklarifikasi dari mana masalah bermula. Ciri-ciri inilah yang terlihat pada masyarakat semi-desa (rural community) yang kondisi tatanan sosial masyarakatnya masih didominasi para generasi tua, pembagian kerja sangat tidak tegas, mengandalkan kolektivitas serta sangat erat dalam ikatan adat, dan solidaritas religius.
Salah satu manajemen konflik yang cukup ampuh untuk meredakan konflik adalah membiarkan mereka hingga lelah (stalemate). Hal ini sangat riskan sekali dilaksanakan karena bisa jatuh korban jiwa bahkan peperangan besar selanjutnya. Akan tetapi bila solusi stalemate tidak bisa dilaksanakan, ada baiknya konsep mediasi dengan menghadirkan pihak ketiga sebagai pemberi solusi patut dicoba. Pemberi solusi ini bisa saja tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, atau pihak kepolisian. Kadang untuk jadi mediator konflik yang parah sekali perlu tekanan keras kepada dua belah pihak.
Sepertinya budaya kekerasan tidak hanya dialami Indonesia saja. Di Amerika yang menjadi kiblat kebebasan berekspresi juga sering kali mendapat masalah dengan budaya kekerasan. Budaya-budaya kekerasan, di Amerika lebih banyak di picu oleh perlakuan yang tidak sewajarnya terhadap para penduduk migran. Sehingga pada akhirnya, penduduk migran membentuk koloni dan membuat perlawanan di jalan. Dan kelompok ini semakin banyak dengan beragam nama. Salah satunya Geng MS. Mereka seringkali terlibat tawuran dengan geng-geng lainya, bahkan tak jarang bentrok dengan aparat keamanan. Sikap represif dari penegak hukum, tak bisa dijadikan satu-satunya solusi. Ini terbukti, geng MS sampai saat ini tak bisa dimusnahkan dari Amerika meski sudah puluhan bahkan ratusan anggota geng di penjara dan di deportasi kenegara asalnya masing-masing. Geng MS semakin berkembang. Dari Amerika, Venezuela, Argentina sampai El Savador. Bahkan mereka sudah mencapai tingkat yang cukup mengkhawatirkan, karna bisa mengancam stabilitas keamanan dinegara-negara tersebut.
Berkaca dari contoh diatas, sepertinya kita harus memikirkan kembali, vaksin apa yang cocok untuk mengatasi budaya kekerasan di negara kita ini. Ketika tindakan represif aparat penegak hukum, justru menjadikan budaya kekerasan semakin tidak terkontrol, tentu harus kita temukan pendekatan lain yang lebih tepat dalam mengatasi persoalan ini. Saya sepakat dengan bahasa Goenawan Muhammad- yang sering menyebut bangsa kita ini bangsa yang sensitif. Atau mungkin lebih mendekati bangsa yang labil. Lebih dari 60 tahun merdeka ternyata tak membuat jiwa-jiwa nasionalisme warga negaranya semakin bertambah, yang muncul justru Cauvinisme yang semakin kental. Pada saat terjadi persoalan, bukan berfikir jauh soal bangsa dan negara, tapi kelompok dan individu. Sehingga ketika terjadi persoalan, sangat gampang untuk diprovokasi pihak-pihak lain yang tak bertanggungjawab.
Sensitifitas dari masyarakat kita tentu ada banyak faktor yang mempengaruhi. Tingkat stress yang akut, juga bisa pemicu seseorang menjadi lebih sensitif dan cepat marah. Barangkali pemerintah juga harus melihat, mental dari warganya. Yang dipikirkan bukan hanya pembangunan fisik saja, melainkan pembentukan mental tak boleh di abaikan. Tingkat stress bangsa kita sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Isu-isu berita yang membosankan, budaya infotaimen, harga sembako tinggi, gaji tak cukup, banyak buruh di PHK, PNS tak sejahtera, korupsi merajalela, kesehatan mahal, pendidikan mahal, dan segala macam persoalan ini menjadi bagian dari setiap kita yang tinggal di Indonesia.
Keroyokan atau tawuran dipicu dari sifat agresif. Jadi jika timbul masalah maka solusinya adalah membalas dan meminta bantuan teman-temannya. Padahal tidak mesti begitu, bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan lawan malah akhirnya bisa jadi kawan. Tawuran juga disebabkan karena persepsi bahwa tawuran itu permainan saja. Jadi mereka tidak menganggap tawuran sebagai masalah yang harus didamaikan. Bagi mereka tawuran yah tawuran, kalau diserang yah balas menyerang. Itu sebabnya beberapa tawuran terus berlangsung bertahun-tahun berulang-ulang turun temurun ke generasi berikutnya. Kalau sudah begini, mindset bahwa tawuran hanyalah permainan saja harus dihapuskan. Nah itu yang paling susah. Salah satu cara adalah memenjarakan pelaku tawuran dsb. Pokoknya tindakan tawuran itu tindakan serius dan ada konsekuensinya yang berat.
Dalam hal ini, pihak yang sangat dirugikan adalah masyarakat yang tidak tahu apa-apa. Bisa kita liat, betapa banyak kerugian materi yang disebabkan oleh sikap remaja Indonesia yang tidak terpuji ini. Dapat disimpulkan, bagi sebagian kelompok pemuda atau komunitas, jalan keluar dari masalah yang terjadi antara kelompok satu dengan yang lainnya adalah tawuran. Tentunya hal ini sangat merugikan orang banyak dan juga bisa menyebabkan kerugian seperti infrastruktur yang rusak bahkan ada yang kehilangan nyawa.
Konon katanya tawuran ini disebabkan dendam turun temurun yang berasal dari nenek moyangnya murid sekolah atau universitas dari zaman dulunya, yang akhirnya diturunkan kepada junior-junior atau adik-adik kelasnya. Ya, budaya turun temurun ini tidak memandang sebab, hal sepele bisa jadi pemicu atau bahkan tidak ada pemicu pun bisa menyebabkan terjadinya tawuran.
Dalam sebuah masyarakat, banyak ditemui persamaan-persamaan dalam berbagai hal, tetapi seringkali juga didapati banyak perbedaan-perbedaan dalam diri mereka, dan dalam setiap kehidupan juga terdapat pertentangan-pertentangan itulah sebabnya keadaan masyarakat terkadang mengalami kegoyahan yang keadaan tidak tercontrol ,dari situlah awal terjadinya perpecahan. Pertentangan sosial dapat diartikan suatu konflik yang terjadi diatara masyarakat sehingga dapat menimbulkan perpecahan diantara mereka . sebagai contoh beberapa konflik yang terjadi seperti kasus poso, sambas, dan masih banyak lagi. penyebabnya bisa dari berbagai sumber masalah, seperti mulai dari ras, agama, sampai yang berbau politik.
Jika terjadi perpecahan akan mengalami kerusuhan atau kerugian bagi masyarakat ,terkadang kita sendiri pun juga bisa terkena imbasnya, banyak korban-korban yang tidak bersalah menjadi ikut terkena musibah akibat kerusuhan tersebut, pertentangan-pertentangan sosial yang ada di kehidupan sosial harus segera di klarifikasi agar tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang dapat merugikan negara ini, kita harus saling bertoleransi kepada siapa pun, walaupun kita beda agama,ras dll kita harus tetap satu agar negara kita tidak terpecah belah oleh orang-orang yang ingin menghancurkan negara kita.
Fenomena tawuran tidak hanya terjadi di kalangan pelajar, tetapi juga berlangsung di kalangan orang dewasa (tawuran antar kampung / daerah), atau juga tawuran antar kelompok (berdasarkan profesi, etnis, bangsa dan berdasarkan pengelompokkan lainnya). Masyarakat kita tidak memiliki figur pemimpin yang ideal dan kokoh dalam kualitas pada akhlak maupun kemampuan kepemimpinannya di tingkat nasional. Sebagian masyarakat kita memang mengenal pemimpinnya, namun masih bersifat lokal dan parsial. Masyarakat kita mengalami ketidakpastian dan ketidaknyamanan perkembangan sosio-budaya, disebabkan semakin banyak elemen-elemen masyarakat yang menyebarkan virus-virus sosial, ekonomi, politik dan cultural (moral hazards). Artinya, karena beragam alasan, tidak sedikit anggota masyarakat yang menjadi kriminal sosial (para preman, penangguran dsb), kriminal kultural (hiburan dari budaya luar yang negatif/tidak Islami yang masuk secara massif ke dalam media-media informasi dan komunikasi yang ada di masyarakat, seperti televisi, VCD, dsb.), kriminal ekonomi (koruptor dsb.), kriminal politik (politisi yang tidak bermoral, provokator politik, dsb.), dan bahkan kriminal agama (mereka yang menjual ayat-ayat Allah untuk kepentingan dunia), dan jenis-jenis kriminalitas lainnya. Masyarakat kita telah meninggalkan nilai-nilai sosio-keagamaan dan sosio-kekerabatan yang dulu banyak dimitoskan sebagai masyarakat dan bangsa yang sopan-santun dan murah senyum;  ini diakibatkan oleh perkembangan zaman yang mendorong masyarakat menjadi individu dan masyarakat yang egoistis dan egotis. Suasana kebebasan, khususnya setelah awal reformasi yang baru lalu, pada program-program siaran yang menayangkan pornografi, kekerasan, kejahatan  dan hal negatif lainnya. Program-program siaran negatif tersebut, sungguh sangat mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku seorang individu menjadi negatif pula, dan ini membutuhkan waktu dan enersi yang tidak sedikit untuk mengembalikannya kepada format yang benar Islami  (brain-washing through media). Rasa percaya masyarakat sangat tipis terhadap pemerintah dan institusi formal pemerintahan yang lain (seperti TNI, lembaga peradilan, lembaga kepresidenan dan banyak lain), disebabkan tidak amanahnya lembaga-lembaga di atas dalam perannya di masa lalu. Masyarakat kita adalah masyarakat yang belum dewasa, sehingga banyak persoalan diselesaikan secara fisik dan dalam lingkup sosial yang tidak kecil, penyelesaian persoalan dilakukan  bukan melalui keterbukaan-keterbukaan dialog.

Komentar