KONFLIK SYIAH-SUNNI DI SAMPANG MADURA

TUGAS INDIVIDU TOU

NAMA  : RIFALDI DWI PUTRA
KELAS : 2KA24
NPM     : 19114342
TEMA   : KONFLIK SUNNI DAN SYIAH DI MADURA

KONFLIK SYIAH-SUNNI DI SAMPANG
MADURA
1.       Terjadinya Konflik Sunni-Syi‘ah Sampang: Maulid atau Carok
           
Pada 4 April 2011, IJABI (Ikatan Jama‘ah Ahlul Bait Indonesia) Sampang, pimpinan ustadh Tajul Muluk yang berpusat di Dusun Nangkrenang Desa Karang Gayam Kecamatan Omben Sampang akan mengadakan acara Maulid Nabi. Acara ini sejak awal mendapatkan resistensi yang sangat keras dari masyarakat sekitar. Sejak sebelum hari H, masyarakat sekitar yang mengidentifikasi diri sebagai Sunni melakukan berbagai upaya untuk menggagalkannya. Massa memblokade tempat acara. Dengan bersenjatakan clurit, parang, golok, pentungan, dan senjata tajam lainnya, mereka menghadang jama’ah yang hendak menghadiri acara Maulid Nabi. Jika jam’ah Syi‘ah tetap bersikukuh melangsungkan acara Maulid Nabi, sangat mungkin ada carok masal. Ancaman ini tidak main-main. Sejak awal, masyarakat menunjukkan kebenciannya terhadap keberadaan Syi‘ah di wilayahnya. Akhirnya, acara Maulid itu gagal dilaksanakan. Kemarahan massa secara khusus ditujukan ke ustadh Tajul Muluk sebagai pimpinan Syi‘ah Sampang. Mereka berencana menghancurkan rumah ustadh Tajul Muluk, di mana acara Maulid akan digelar. Dan masih banyak ancaman-ancaman serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak Sunni untuk mengusir serta menghilangkan ajaran Syi’ah serta pengikutnya.
Puncaknya adalah peristiwa terjadi pada tanggal 26 Agustus 2012 antara kelompok Tajul Muluk al Ali Murtadha (penganut aliran Syiah) dengan kelompok M Rois Al Hukuma (penganut aliran Sunni) yang mengakibatkan 1 (satu) orang meninggal dunia, 11 (sebelas) luka-luka parah termasuk Kapolsek Omben AKP Aris Dwiyanto, 49 rumah warga Syiah dibakar (versi media 37 rumah) dan puluhan mengungsi.
Penyerangan berdarah itu terjadi sekitar pukul 11 pagi. Sekitar 500-an orang terkonsentrasi di sekitar Kampung Nangkernang sejak pukul 08.00 pagi. Massa tersebut membawa clurit, pedang, pentungan dan sejumlah bom molotov. Menurut keterangan Iklil, kakak kandung Pemimpin Syiah Sampang Ustadz Tajul Muluk dan Zaini, yang berada di sekitar lokasi, ratusan massa itu adalah massa pelaku yang sama yang pernah membakar dan meneror mereka pada tanggal 29 Desember 2011 silam Semua korban merupakan kelompok penganut aliran Syiah yang minoritas. Kejadian ini juga merupakan kejadian puncak setelah sebelumnya tanggal 29 Desember 2011 juga terjadi pembakaran rumah-rumah dari kelompok Tajul Muluk yang dilakukan oleh kelompok M Rois. Pada tanggal tersebut, telah terjadi  pembakaran mushola dan rumah penganut Syiah di sebuah pesantren di Dusun Nangkrenang, Desa Karang Gayam Kecamatan Karang Penang, Sampang, Madura.
2.       Faktor Penyebab Terjadinya Konflik Syi’ah-Sunni

Penyebab terjadinya konflik ini adalah bahwa pihak Sunni merasa ustadh Tajul Muluk telah melanggar kesepakatan yang telah dibuatnya bersama dengan NU dan MUI Sampang tahun 2008. Maksud dari dengan melanggar kesekapatan tahun 2008 ini sesungguhnya adalah peristiwa tekanan Kyai Ali Karar dan kawan-kawannya kepada ustadh Tajul Muluk sebagai pimpinan Syi‘ah untuk menghentikan aktivitasnya. Ceritanya, pada tahun 2008, Kyai Ali Karar dengan beberapa tokoh lain berdialog dengan ustadh Tajul Muluk dan mendesak agar dia menghentikan aktivitas dakwahnya karena dianggap menyimpang. Menurut pengakuan ustadh Tajul, pertemuan tersebut bukanlah dialog melainkan penghakiman sepihak yang dilakukan oleh kelompok Sunni pimpinan Kyai Ali Karar. Dalam keseluruhan konflik Sunni-Syi‘ah di Sampang ini, bisa dikatakan bahwa NU adalah wakil utama dari kelompok Sunni.
Tokoh-tokoh Sunni dengan berbagai posisi sosial keagamaannya, yang terlibat dalam drama konflik ini, sesungguhnya adalah para kyai dan tokoh NU. Massa yang melakukan intimidasi dan kekerasan adalah juga masyarakat umum yang merupakan warga NU setempat yang keislamannya sangat ditentukan oleh pandangan para kyainya. Ketika ustadh Tajul Muluk dan komunitas Syi‘ah Sampang tetap melanjutkan aktivitasnya, tokoh-tokoh MUI, PCNU, dan Basra (Badan Silaturrahmi Ulama Madura) menuduh bahwa ustadh Tajul Muluk sudah melanggar kesepakatan yang sebenarnya tidak pernah ada.
Tuduhan tersebut tentu tidak bisa diterima oleh Ustad Tajul Muluk. Pertama, dia merasa tidak pernah menyepakati desakan ulama di Omben untuk menghentikan aktivitas dakwahnya. Kedua, dakwah yang dilakukannya hanya berlangsung di jama’ah IJABI. Dia tidak pernah memengaruhi orang lain untuk pindah menjadi penganut Syi‘ah, dan bahwa yang dilakukannya selama ini tidak lebih dari penguatan internal jama’ah Syi‘ah sendiri. Sebelum peristiwa Maulid Nabi itu, pada Desember 2010 sesungguhnya ada peristiwa lain yang memanaskan situasi hubungan Sunni-Syi‘i di Sampang. Saat itu, beberapa warga melaporkan aktivitas ustadh Tajul Muluk dan jama’ah Syi‘ahnya ke MUI. Para warga melaporkan ustadh Tajul Muluk dengan komunitas Syi‘ahnya telah meresahkan masyarakat.
Konflik Sunni-Syi‘i bisa dikatakan sebagai akibat dari rasa permusuhan dan kebencian yang disebarkan terus-menerus secara intensif. Ada usaha yang dilakukan terus-menerus untuk menetapkan Syi‘ah sebagai ajaran sesat. Menurut ustadh Tajul Muluk, kebencian warga sengaja dibakar oleh para tokoh masyarakat dan kyai setempat. Secara eksplisit, dia menyebut bahwa di balik semua konflik dan kekerasan ini, ada peran yang dimainkan oleh Kyai Ali Karar, H. Jamal (alumni Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan), Abdul Malik, Bahram, dan Mukhlis. Ketiga orang yang disebut terakhir adalah mantan santri Kyai Ali Karar. 
3.       Sumber Integrasi dan Konflik
Saat ini, ketika kekerasan agama marak di mana-mana, banyak kalangan yang berpendapat bahwa ini semua terjadi karena negara tidak berbuat tegas. Pendapat ini dalam banyak hal bisa dibenarkan, tetapi itu tidak bisa menyelesaikan akar masalahnya. Sumber masalah konflik keagamaan berada di jantung klaim kebenaran absolut dari sebuah agama. Pemeluk agama mengembangkan pandangan sedemikian rupa yang membagi kosmos ini dalam menjadi dua belahan: baik dan buruk. Pemeluk agama akan marah terhadap sesuatu yang dianggap sebagai kebatilan dan akan berjuang dalam rangka menegakkan kebenaran. Dalam balutan keyakinan agama yang semuanya serba absolut, perjuangan menegakkan kebenaran ini bisa berarti tindakan kekerasan jika diperlukan.
Konflik keagamaan, sebagaimana kekerasan agama, bisa juga berkombinasi dengan faktor-faktor non-agama. Ketika ia muncul, ia bisa berkombinasi dengan berbagai faktor lain sesuai dengan konteks sosio-budaya-politik yang ada. Dengan kata lain, klaim kebenaran absolut oleh suatu kelompok keagamaan membutuhkan konteks sosial-politik tertentu untuk meletus menjadi konflik terbuka. Ketika konflik itu sudah dibungkus dengan ideom-ideom agama, maka dia memiliki daya dorong yang sangat dahsyat Apa yang bisa dilihat dalam konflik Sunni-Syi‘ah  di Sampang adalah fungsi agama sebagai faktor integratif dalam masyarakat. Akan tetapi, karena faktor integratif yang dihasilkan dari nilai-nilai agama ini membentuk solidaritas internal yang chauvinistik dengan klaim kebenaran absolut dengan melihat kelompok lain sebagai salah/sesat absolut, maka agama juga menjadi sumber konflik terhadap kelompok lain. Dalam situasi seperti ini, maka sangat sulit untuk memberi ruang bagi perbedaan pendapat, apalagi tumbuhnya kelompok lain yang tidak mengakui nilai-nilai keagamaan yang menjadi pengikat kehidupan bersama. Hanya ada dua pilihan yang tersedia bagi kelmpok yang berbeda: Kembali mengakui nilai-nilai bersama dan terintegrasi ke dalam kehidupan bersama sebagai semula atau hilang.
Munculnya komunitas Syi‘ah di Desa Karang Gayam dianggap sebagai pengingkaran terhadap kehidupan bersama masyarakat Sampang yang diikat oleh nilai-nilai ke-NU-an sebagai common values-nya. Sejak awal, berbagai upaya dilakukan untuk menarik kembali ustadh Tajul Muluk dan jama’ah Syi‘ahnya untuk meninggalkan akidahnya dan kembali menjadi Sunni/NU. Ketika komunitas baru ini tetap tidak mau, maka “dihilangkan” adalah satu-satu pilihan yang tersedia. Hilang di sini bisa mati atau pergi. Untuk melegitimasi hukuman sosial atas kelompok berbeda ini, maka dikembangkan instrumen pengabsah, yaitu melabeli Syi‘ah sebagai kesesatan, sedang Sunni/NU adalah kebenaran.
 4.Perebutan Basis Otoritas Antarkelompok Konflik
            Terlepas dari gerakan massa yang secara aktif menolak keberadaan Syi‘ah di Sampang, konflik Sunni-Syi‘i di Sampang perlu dilihat dari rebutan otoritas keagamaan antarpemimpin agama. Definisi Coser tentang konflik sangat membantu bahwa perbedaan itu sendiri tidak dengan sendirinya melahirkan konflik. Konflik hanya terjadi jika ada pihak yang sedang berebut sumber terbatas. Dalam kasus Sampang, terlihat bahwa kyai-kyai Sunni/NU merasa tergerogoti legitimasi keagamaannya. Hal ini bisa dilihat pada upaya awal Kyai Ali Karar yang memaksa ustadh Tajul Muluk agar tetap berada dalam barisan NU. Andaikan ustadh Tajul Muluk mau menerima tawaran itu, maka berarti dia akan mengakui nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh Kyai Karar, dan dengan sendirinya harus mengakui kepemimpinan Kyai Ali Karar. Tentu saja, Kyai Ali Karar dalam drama ini hanyalah sosok yang mewakili kepentingan kelasnya.
Dalam kelompok ini, berjajar kyai-kyai pesantren, pimpinan MUI, pengurus NU, dan aktivis Basra. Kepemimpinan mereka ini ditegakkan di atas pengakuan publik terhadap nilai-nilai ke-Sunni-an yang terlembaga ke dalam NU. Selagi nilai-nilai ke-NU-an ini diakui dan dipatuhi, maka otoritas mereka sebagai pemimpin agama tetap terakui dan terjaga dengan baik. Ketika seorang Tajul Muluk berhasil membangun sebuah komunitas baru dengan nilai-nilai yang berbeda, maka kehadirannya bisa dianggap sebagai upaya untuk mendelegitimasi basis otoritas kyai-kyai Sunni/NU tersebut. Kyai-kyai Sunni/NU yang dalam kasus ini berkedudukan  sebagai kelompok ordinat/berkuasa berusaha sekuat tenaga untuk memaksakan nilai-nilai keagamaannya agar tetap menjadi nilai yang dipatuhi. Nilai-nilai ke-Sunni-an diideologisasi sedemikian rupa sehingga ia menjadi nilai bersama, sedangkan nilai yang lain dianggap menyimpang dan tidak absah. Kegagalan mengideologisasi nilai-nilai kelompok ordinat berarti kegagalan mempertahankan otoritas kepemimpinan yang selama ini dinikmati. Oleh karena itu, maka mereka mati-matian memaksa ustadh Tajul Muluk untuk tetap mengakui basis keyakinan Sunni sebagai aqidah yang benar, atau kalau tidak, dia harus hilang. Jelas bahwa apa yang kita lihat dalam drama konflik Sunni-Sy’i di Sampang Madura adalah drama perebutan otoritas keagamaan antara kelompok ordinat (kyai-kyai Sunni/NU) dengan kelompok subordinat (Tajul Muluk dan jama’ah Syi‘ah). Klaim sesat terhadap Syi‘ah dibangun dalam rangka ideologisasi nilai-nilai ke-Sunni-an/ke-NU-an untuk tetap menjad nilai kebiasaan yang absah. Penghakiman sesat terhadap Syi‘ah dan pengusiran komunitas Syi‘ah adalah dalam rangka tetap mempertahankan otoritas kepemimpinan keagamaan kyai-kyai Sunni/NU. 
3.5 Solusi mengatasi konflik Syi’ah-Sunni
            Sudah banyak solusi yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari pemerintah hingga alim ulama serta pejabat yang berwenang untuk mengatasi masalah ini. Upaya tersebut adalah diadakannya sebuah mediasi yang diinisiasi oleh Polda Jawa Timur di pendopo kabupaten. Acara tersebut dihadiri oleh K.H. Muhaimin Abdul Bari (Ketua PCNU Sampang), K.H. Syafiduddin Abdul Wahid (Rais Syuriah NU), KH Bukhori Maksum (Ketua MUI Sampang), K.H. Zubaidi Muhammad, K.H. Ghazali Muhammad, dan beberapa ulama lainnya. Alih-alih melakukan mediasi, pertemuan itu justru memojokkan ustadh Tajul Muluk dan jama’ah Syi‘ah. Pihak Muspida justru ikut menghakimi keyakinan jama’ah Syi‘ah. Mereka juga turut mendesak Tajul Muluk agar menerima opsi yang ditawarkan oleh MUI, PCNU, dan Basra, yaitu: 1) menghentikan semua aktivitas Syi‘ah di wilayah Sampang dan kembali ke paham Sunni, 2) diusir ke luar wilayah Sampang tanpa ganti rugi lahan/aset yang ada, dan 3) jika salah satu dari dua opsi tersebut di atas tidak dipenuhi, maka berarti jama’ah Syi‘ah Sampang harus mati.
Tiga opsi yang ditawarkan di atas menunjukkan betapa kuatnya konflik ini. Opsi itu tentu saja tidak hanya menjadi ancaman serius bagi komunitas Syi‘ah di Sampang, tetapi juga menempatkan  pemerintah pada posisi yang sangat sulit. Tidak menuruti desakan kelompok mayoritas akan berarti membuat pemerintah tidak populer, tetapi jika opsi itu dituruti, pemerintah akan secara terang-terangan melanggar HAM.
Upaya lainnya adalah sekitar dua bulan setelah kejadian, sejumlah kyai, tokoh masyarakat, MUI se-Madura mengadakan pertemuan di Pondok Pesantren Darul Ulum, pimpinan K.H. Syafidudin Abdul Wahid. Pertemuan ini juga dihadiri oleh pihak Polda Jawa Timur, Mabes Polri, dan Slamet Effendi Yusuf yang mewakili MUI Pusat. Pertemuan itu membahas tanda tangan ribuan warga yang menolak keberadaan jama’ah Syi‘ah. Bisa diduga sejak awal, pertemuan itu dilakukan untuk mengukuhkan sikap yang sudah diambil sejak awal, yaitu menolak keberadaan jama’ah Syi‘ah. Tanda tangan masyarakat yang menolak keberadaan Syi‘ah itu hanyalah instrumen penguat dari sikap yang sudah ada sejak awal. Dalam pertemuan itu, para ulama sepakat mendesak pemerintah Kabupaten Sampang untuk segera mengusir ustadh Tajul Muluk dari Desa Karang Gayam.
            Berdasarkan hasil pertemuan tersebut, pada tanggal 28 Mei 2011, MUI se-Madura secara resmi mengeluarkan sikap, yang isinya adalah sebagai berikut: 1. Kami, MUI se-Madura, menyatakan bahwa aliran Syi‘ah yang ada di Karang Gayam itu sesat dan menyesatkan. 2. Kami, MUI se-Madura, meminta kepada pemerintah agar Tajul Muluk segera direlokasi. Tidak hanya pemerintah Kabupaten Sampang, pemerintah Provinsi Jawa Timur juga didesak untuk segera mengusir ustadh Tajul Muluk dari tanah Sampang dengan alasan ajaran yang dibawanya sesat. Bupati Sampang, Nur Cahya, mengakui bahwa dia sudah berkoordinasi dengan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, yang intinya adalah bahwa Pemerintah Kabupaten Sampang siap untuk merelokasi jama’ah Syi‘ah pimpinan ustadh Tajul Muluk ke lokasi yang mereka inginkan. Relokasi tersebut dilakukan dalam rangka memberikan keamanan dan kebebasan bagi mereka dalam menjalankan kepercayaannya. Kebijakan ini pun disetujui oleh Soekarwo dan Ketua MUI, K.H. Bukhori Maksum. Namun, ketika kebijakan itu diputuskan, ustadh Tajul Muluk sendiri sudah tidak lagi berada di Sampang. Sejak tanggal 16 April 2011, dia sudah dipindahkan ke Malang, setelah sebelumnya selama dua minggu diamankan di Polres Sampang. Saat ini, posisi Tajul Muluk tidak dapat dipastikan sekalipun ada kabar yang mengatakan bahwa dia sudah berada di tempat yang akan menjadi lokasi baru bagi komunitas Syi‘ah.
            Ketiadaan ustadh Tajul Muluk tidak menghentikan teror dan intimidasi yang dialami jama’ah Syi‘ah Karang Gayam. Tetap saja berbagai propaganda kebencian terhadap komunitas Syi‘ah dengan cap sebagai aliran sesat terus direproduksi. Desa Karang Gayam menjadi wilayah yang sulit dimasuki orang luar karena diblokade oleh massa anti-Syi‘ah. Kini, jama’ah Syi‘ah di Karang Gayam sedang dalam pemantauan pemerintah Kabupaten Sampang. Mereka akan diberi penyuluhan terkait akidah yang dianutnya, agar mereka kembali menjadi penganut akidah ahl al-sunnah wa al-jama‘ah.











Komentar